|
TAKLUKAN AIR, BELANDA JADI PRIMADONA
Oleh: Gerry Resmi Liyana
Nederland, begitu melafalkannya. Negara yang terkenal dengan kincir angin dan bunga tulip itu memiliki lanskap yang unik dan letak geografis yang ekstrim karena memiliki permukaan daratan yang datar dan rendah, memiliki banyak sungai, dan kota-kota yang berbatasan langsung dengan pantai laut utara. Tak ayal, kondisi tersebut membuat Belanda rawan terhadap bencana alam. Terjangan badai dari laut utara dan luapan air dari tiga sungai utama eropa – Rhine, Meuse, dan Schelde – menjadi ancaman utama bagi negara tersebut. Apalagi dengan adanya perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya tudung es di kutub semakin berpotensi menenggelamkan seluruh permukaan Belanda.
Namun, berkat kegigihannya, Belanda berhasil menekan indeks resiko bencana alam (WRI) ke angka 8.49% (tertinggi Vanuatu dengan indeks 36,31%) sehingga menempatkannya pada peringkat 51 negara di dunia dengan WRI tertinggi meskipun Belanda masuk dalam jajaran 15 negara di dunia yang paling rawan terhadap bencana alam [1]. Indeks tersebut menentukan seberapa besar kemampuan suatu negara dalam menanggulangi pengaruh negatif dari bencana alam. Semakin rendah WRI, semakin tinggi kemampuan suatu suatu negara dalam menanggulangi bencana alam. Artinya, Belanda masih lebih aman dibandingkan dengan 50 negara lainnya termasuk Indonesia (Indonesia menempati peringkat 33 negara di dunia dengan WRI tertinggi). Prestasi tersebut tentu saja tidak dicapai tanpa cedera dan kegagalan, juga dengan waktu yang sebentar dan cara yang mudah. Belanda tercatat dalam sejarah dunia berkali-kali mengalami bencana banjir besar, juga tercatat lebih dari seribu tahun berjuang menaklukan air dengan berbagai ide-ide yang kreatif dan inovatif. Perubahan demi perubahan yang terjadi pada alam dan kegagalan demi kegagalan bangsa Belanda dalam mencegah banjir telah mendorong mereka untuk terus mengembangkan pola pikir baru dalam menaklukan air.
Adaptasi terhadap perubahan iklim Perubahan iklim yang tak dapat dihindari menstimulasi bangsa Belanda untuk terus mencoba memperbaharui upaya pencegahan banjir yang dipicu oleh naiknya permukaan air laut dan turunnya permukaan tanah. Berdasarkan catatan Rijkswaterstaat [2], rata-rata ketinggian permukaan air laut (m.s.l) terus meningkat dari -1 meter pada tahun 900 menjadi 0.5 meter pada tahun 2010, sedangkan permukaan tanah terus mengalami penurunan dari 3 meter pada tahun 900 menjadi -3 meter atau 3.5 meter di bawah permukaan air laut pada tahun 2010 (lihat gambar 1). Selama periode tersebut banyak sekali upaya pencegahan banjir yang telah dilakukan dengan terus mengembangkan komponen-komponen sistem air seperti drainase, tanggul, bendungan, dan polder agar bisa tetap beradaptasi dengan perubahan iklim.
Belajar dari bencana banjir
Setiap bencana banjir yang terjadi adalah pelajaran dan pengalaman berharga bagi bangsa Belanda. Dari pelajaran dan pengalaman tersebut, mereka berhasil menciptakan sebuah sistem terbaik di dunia yang mampu mengubah Belanda dari sarang banjir menjadi primadona. Beberapa proyek besar seperti proyek Zuiderzee dan Deltawork yang berhasil diselesaikan, berturut-turut, pada tahun 1970 dan 1986 merupakan karya terbesar bangsa Belanda sepanjang abad 20 yang distimulasi oleh bencana banjir yang sudah berkali-kali menyapu tanah Belanda
Terjangan badai yang kerap kali terjadi di sekitar Zuiderzee menjadi stimulus bagi Cornelis Lely, seorang teknisi muda Belanda, untuk merampungkan proyek Zuiderzee yang sudah direncanakannya pada tahun 1891 dan sempat tertunda karena perang dunia II dan bencana banjir pada 1953. Proyek zuiderzee adalah rencana untuk mereklamasi sebagian area Zuiderzee atau laut selatan menjadi sebuah danau Ijsselmeer yang dikelilingi oleh lahan pertanian dengan membangun sepanjang 32 km afsluitdijk atau palang bendungan yang menghubungkan Noord Holland dan Friesland dan 4 polder baru diantaranya Wieringermeer, Noordoostpolder, Oostelijk Flevoland, dan Zuidelijk Flevoland.
Tidak hanya Zuiderzee, skema proyek Delta yang dikembangkan oleh komisi Delta, dipimpin oleh A. G. Maris, juga termotivasi oleh bencana banjir yang menyapu Zeeland selama akhir pekan, dari 31 januari hingga 1 februari 1953. Bencana banjir yang menewaskan kurang lebih 1836 jiwa, menghancurkan 89 tanggul dan 10.000 rumah penduduk itu telah menstimulasi pemerintah Belanda untuk membangun sistem bendungan yang mampu melindungi mereka dari terjangan badai laut utara. Bendungan-bendungan yang berhasil dibangun pada proyek ini adalah Hollandse Ijssel, Haringvlietdam, Brouwersdam, Grevelingendam, Philipsdam, Volkerakdam, Oosterscheldedam, Veerse-Gatdam, Zandkreekdam, Oesterdam, dan Markiezaatsdam. Hingga saat ini hasil dari kedua proyek besar itu tidak hanya mampu melindungi Belanda dari terjangan badai tapi juga menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang di seluruh dunia, terutama bagi mereka yang ingin mempelajari sistem manajemen air belanda. Tak ayal, proyek Zuiderzee dan Delta menjadi salah satu dari 7 wonders of the modern world [5]. Prestasi yang membanggakan!
Dari sarang banjir menjadi primadona Berbagai perlawanan bangsa Belanda terhadap amukan air yang telah diterangkan di atas menandakan bahwa mereka adalah bangsa yang kreatif. Mereka selalu ingin mengetahui segala hal termasuk bagaimana membangun istana di tengah ancaman badai. Rasa ingin tahu itulah yang membuat mereka tertantang dan terdorong untuk mencoba terobosan-terobosan baru meskipun tidak tahu kapan itu akan berhasil. Bisa besok, minggu depan, tahun depan, atau seratus tahun lagi, atau malah seribu tahun lagi. Namun, mereka percaya suatu saat nanti inovasi yang mereka lakukan akan berhasil mewujudkan mimpi mereka. Setelah lebih dari seribu tahun lamanya berjuang menaklukan air, bangsa Belanda akhirnya berhasil mentransformasi sarang banjir menjadi primadona. Pesona lanskap Belanda yang cantik dengan gaya arsitektur yang unik akan membuat semua orang jatuh cinta ketika melihatnya Referensi
|