Jangan Tunggu TB Kebal Obat
CAPAI TARGET MDG, TB-MDR MENINGKAT
Obat TB gratis program pemerintah sudah dijalankan sejak tahun 1995. Selain menggunakan dana dari anggaran kesehatan, program ini juga mendapat dukungan dari Dana Global (Global Fund) untuk AIDS, TBC dan Malaria. Program Obat TB gratis dibuat sebagai upaya untuk mewujudkan salah satu dari 8 Tujuan Pembangunan Millenium atau Millennium Development Goals (MDG) [1] yang dirumuskan pada saat Deklarasi Milenium tahun 2000 di New York, yaitu untuk memerangi HIV dan AIDS, Malaria serta penyakit lainnya, termasuk tuberkulosis. Salah satu target dari poin ke-6 MDG ini adalah menghentikan dan mulai membalikkan kecenderungan persebaran malaria dan penyakit-penyakit utama lainnya seperti Tuberkulosis (TB) pada 2015.
Untuk kasus TB, target Indonesia terpenuhi apabila:
- Indonesia mampu menghentikan atau mengurangi angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat TB.
- Proporsi jumlah kasus TB yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS meningkat hingga nilai yang ditargetkan MDG.
Berdasarkan Laporan Pencapaian MDG di Indonesia 2011[2] tercatat bahwa:
- Angka penderita TB menurun dari 343 per 100,000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 189 per 100,000 penduduk pada tahun 2011.
- Tingkat prevalansi TB menurun dari 443 per 100,000 penduduk pada tahun 1990 penduduk menjadi 289 per 100,000 penduduk pada tahun 2011.
- Tingkat kematian karena TB menurun dari 92 per 100,000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 27 per 100,000 penduduk pada tahun 2011.
- Proporsi jumlah kasus TB yang terdeteksi dalam program DOTS meningkat dari 20,0% pada tahun 2000 menjadi 83,48% pada tahun 2011 (target MDB 70,0%).
- Proporsi kasus TB yang diobati dan sembuh dalam program DOTS meningkat dari 87,0% pada tahun 2000 menjadi 90,3% pada tahun 2011 (target MDB 85,0%).
Data yang dipaparkan pada Laporan Pencapaian MDG di atas tentu saja merefleksikan keberhasilan Indonesia dalam menurunkan kasus TB. Keberhasilan tersebut mendapatkan apresiasi dari Global Health Usaid melalui penghargaan Champion Award for Exceptional Work in the Fight Againts TB yang diberikan kepada Kementrian kesehatan Indonesia, dan apresiasi dari Sekjen PBB Ban Ki Moon melalui surat langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [3]. Namun, ditengah pencapaian tersebut, TB yang kebal terhadap beberapa jenis Obat Anti TB (OAT) atau dikenal dengan MDR TB (Multi-Drug-Resistant Tuberculosis) dan TB dengan HIV semakin meningkat jumlahnya, seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa media (lihat gambar 2).
APA ITU TB-MDR ?
TB-MDR ini merupakan TB kebal obat kategori ke-3, yaitu TB yang resisten terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin. Untuk membunuh kuman TB-MDR diperlukan Paduan Obat Anti TB (OAT) yang harganya jauh lebih mahal dan memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama [4]. Lama penyembuhan kasus TB-MDR adalah 2 tahun atau lebih, jauh lebih lama apabila dibandingkan dengan kasus TB biasa yang hanya memerlukan waktu 6 - 9 bulan [5].
Kategori-kategori TB kebal obat menurut Dalimunthe dkk [4] diantaranya ada:
TB-MDR ini merupakan TB kebal obat kategori ke-3, yaitu TB yang resisten terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin. Untuk membunuh kuman TB-MDR diperlukan Paduan Obat Anti TB (OAT) yang harganya jauh lebih mahal dan memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama [4]. Lama penyembuhan kasus TB-MDR adalah 2 tahun atau lebih, jauh lebih lama apabila dibandingkan dengan kasus TB biasa yang hanya memerlukan waktu 6 - 9 bulan [5].
Kategori-kategori TB kebal obat menurut Dalimunthe dkk [4] diantaranya ada:
- Mono resisten : kekebalan terhadap salah satu Obat Anti TB (OAT),
- Poli resisten : kekebalan terhadap lebih dari satu Obat Anti TB (OAT), selain kombinasi isoniazid dan rifampisin,
- Multi-Drug-Resistant (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin, dan
- Extensively drug resistant (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari Obat Anti TB (OAT) injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
HASIL SURVEI KASUS TB-MDR
Hasil survei Indonesia di Jawa Tengah pada tahun 2004 menunjukkan bahwa data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah sebesar 1,9 % dan pada TB yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan lini kedua) adalah 17,1 %. Sedangkan di Makassar pada tahun 2007, data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan lini kedua) adalah 19,2 % [6]. Di beberapa negara seperti Indonesia, Ethiopia, India, Filipina, dan Rusia, jumlah kasus TB-MDR yang ditemukan dari penderita TB yang menjalani pengobatan lini kedua meningkat antara 2009 dan 2011 dengan perubahan rata-rata per tahun lebih dari 50%. Di Indonesia, misalnya, dari 182 (383) kasus TB-MDR yang ditemukan pada 2010 (2011), 142 (260) diantaranya ditemukan dari penderita TB yang menjalani pengobatan lini kedua [7]. Fakta lain bisa kita lihat pada grafik TB-MDR dari WHO [8] yang ditunjukkan pada gambar 3 menunjukkan bahwa deteksi kasus TB-MDR dan TB yang resisten terhadap rifampicin (rifampicin-resistant TB) dibandingkan dengan kasus TB yang terdaftar dalam pengobatan TB-MDR di Indonesia cenderung mengalami peningkatan antara 2009 dan 2012.
HASIL SURVEI KASUS TB-MDR
Hasil survei Indonesia di Jawa Tengah pada tahun 2004 menunjukkan bahwa data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah sebesar 1,9 % dan pada TB yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan lini kedua) adalah 17,1 %. Sedangkan di Makassar pada tahun 2007, data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan lini kedua) adalah 19,2 % [6]. Di beberapa negara seperti Indonesia, Ethiopia, India, Filipina, dan Rusia, jumlah kasus TB-MDR yang ditemukan dari penderita TB yang menjalani pengobatan lini kedua meningkat antara 2009 dan 2011 dengan perubahan rata-rata per tahun lebih dari 50%. Di Indonesia, misalnya, dari 182 (383) kasus TB-MDR yang ditemukan pada 2010 (2011), 142 (260) diantaranya ditemukan dari penderita TB yang menjalani pengobatan lini kedua [7]. Fakta lain bisa kita lihat pada grafik TB-MDR dari WHO [8] yang ditunjukkan pada gambar 3 menunjukkan bahwa deteksi kasus TB-MDR dan TB yang resisten terhadap rifampicin (rifampicin-resistant TB) dibandingkan dengan kasus TB yang terdaftar dalam pengobatan TB-MDR di Indonesia cenderung mengalami peningkatan antara 2009 dan 2012.
Gambar 3. deteksi kasus TB-MDR (ditunjukkan oleh garis merah) dan TB yang resisten terhadap rifampicin (rifampicin-resistant TB – ditunjukkan oleh garis biru) dibandingkan dengan kasus TB yang terdaftar dalam pengobatan TB-MDR (ditunjukkan oleh garis hijau) di Indonesia cenderung mengalami peningkatan antara 2009 dan 2012 (Sumber : WHO[6])
Dari hasil survei yang dilakukan di Jawa Tengah dan Makassar [6], serta data yang disebutkan oleh Falzon et al [7] menunjukkan bahwa sebagian besar kasus TB MDR yang terjadi di Indonesia berasal dari pasien yang memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya. Sehingga, ada hubungan antara resistensi obat dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Erlina Burhan [9] dan Priyanti [10] juga menyebutkan bahwa TB resistensi obat anti TB atau TB-MDR ini pada dasarnya adalah suatu fenomena yang diciptakan oleh manusia sendiri, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak memenuhi syarat.
Penyebab pengobatan yang tidak adekuat atau tidak memenuhi syarat menurut dr. Erlina Burhan [9] adalah karena faktor:
Penyebab pengobatan yang tidak adekuat atau tidak memenuhi syarat menurut dr. Erlina Burhan [9] adalah karena faktor:
- Penyedia pelayanan kesehatan: (a) buku panduan yang tidak sesuai, (b) tidak mengikuti panduan yang tersedia, (c) tidak memiliki panduan, (d) pelatihan yang buruk, (e) tidak terdapatnya pemantauan program pengobatan, dan (f) pendanaan program penanggulangan TB yang lemah
- Obat: (a) kualitas obat yang buruk, (b) persediaan obat yang terputus, (c) kondisi tempat penyimpanan yang tidak terjamin, dan (d) kombinasi obat yang salah atau dosis yang kurang
- Pasien: (a) kepatuhan pasien yang kurang, (b) kurangnya informasi, (c) kekurangan dana (tidak tersedia pengobatan cuma-cuma), (d) masalah transportasi, (e) masalah efek samping, (f) masalah sosial, dan (g) malabsorpsi
Semua faktor yang disebutkan oleh dr. Erlina di atas ada baiknya untuk diperhatikan dan dijadikan acuan dalam mengevaluasi peningkatan kasus TB-MDR di Indonesia. Perlu ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan seluruh masyarakat. Pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan yang optimal dan menyediakan obat TB gratis, sedangkan masyarakat mau menjadi kader kesehatan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk membantu program penganggulangan TB secara sukarela.
MENJADI KADER KESEHATAN DAN PMO
Di dalam Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB [11] disebutkan bahwa kader kesehatan memiliki peranan penting dalam mengatasi masalah TB di wilayahnya, dengan cara:
Sedangkan tugas PMO di dalam Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB [11] disebutkan diantaranya:
Adanya kerjasama antara pemerintah dengan kader kesehatan dan PMO ini diharapkan dapat mencegah pengobatan yang tidak adekuat. Apabila pengobatan memenuhi syarat, perkembangan TB yang kebal terhadap obat dapat dicegah. Perlu diingat bahwa orang yang tertular oleh penderita TB-MDR akan langsung terinfeksi kuman TB yang kebal obat juga dan berpotensi untuk menularkan kembali kuman tersebut ke orang-orang yang ada di sekitarnya. Sehingga, apabila tidak dicegah, kuman TB yang kebal terhadap Obat Anti TB (OAT) akan semakin tersebar luas. Selain sulit disembuhkan, pengobatan TB-MDR juga jauh lebih mahal dan memiliki banyak efek samping yang sangat beresiko. Apalagi kalau TB-MDR ini menyerang penderita HIV, sistem kekebalan yang sangat lemah akibat HIV akan mempermudah kuman TB-MDR untuk melakukan aktivitas di dalam tubuh dan mematikan penderita tersebut hanya dalam beberapa minggu saja apabila tidak segera ditangani dengan serius. Mudahnya akses yang diperoleh kuman TB-MDR untuk masuk ke dalam tubuh penderita HIV menjadi salah satu faktor meningkatnya jumlah penderita TB dengan HIV [12].
Disaat obat TB diberikan gratis, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang masih belum mengetahui bahwa di seluruh puskesmas, rumah sakit dan instansi kesehatan milik pemerintah kini, obat TB berkualitas dapat diambil secara cuma-cuma bagi penderita TB. Fakta tersebut tercermin dari hasil survei prevalensi TB pada 2004 yang dikutip dari Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 - 2014 [13] menyebutkan bahwa hanya 19% keluarga yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis. Tidak sedikit juga keluarga-keluarga yang kurang mampu menganggap pengobatan TB itu mahal karena mereka melakukan pengobatan di klinik swasta yang tidak menyediakan obat TB gratis hingga akhirnya berobatnya tidak tuntas karena tidak memiliki biaya. Padahal, persediaan obat TB yang terputus merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terciptanya TB-MDR. Jangankan tahu obat TB gratis, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah! Secara nasional, pada tahun 2013, hanya 69,6 persen rumah tangga saja mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah [14]. Oleh karena itu, kita sebagai kader kesehatan harus terus mengampanyekan OBAT TB GRATIS dan memeriksa ada atau tidaknya indikasi TB baik pada diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Jika menemukan adanya indikasi TB segera periksakan ke Puskesmas terdekat. Obat gratis bisa diambil di Puskesmas langsung. Jangan berhenti minum obat TB sebelum waktunya, jangan tunggu sampai TB kebal Obat!
MENJADI KADER KESEHATAN DAN PMO
Di dalam Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB [11] disebutkan bahwa kader kesehatan memiliki peranan penting dalam mengatasi masalah TB di wilayahnya, dengan cara:
- Memberikan penyuluhan tentang TB dan penanggulangannya kepada masyarakat,
- Membantu menemukan orang yang dicurigai sakit TB di wilayahnya,
- Membantu puskesmas atau sarana kesehatan lainnya dalam membimbing dan memberikan motivasi kepada Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk selalu melakukan pengawasan menelan obat,
- Menjadi koordinator PMO (KPMO), dan
- Menjadi PMO jika pasien TB tidak memiliki PMO.
Sedangkan tugas PMO di dalam Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB [11] disebutkan diantaranya:
- Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai sembuh
- Mendampingi dan memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur
- Mengingatkan dan memastikan pasien TB untuk mengambil obat dan periksa ulang dahak sesuai jadwal
Adanya kerjasama antara pemerintah dengan kader kesehatan dan PMO ini diharapkan dapat mencegah pengobatan yang tidak adekuat. Apabila pengobatan memenuhi syarat, perkembangan TB yang kebal terhadap obat dapat dicegah. Perlu diingat bahwa orang yang tertular oleh penderita TB-MDR akan langsung terinfeksi kuman TB yang kebal obat juga dan berpotensi untuk menularkan kembali kuman tersebut ke orang-orang yang ada di sekitarnya. Sehingga, apabila tidak dicegah, kuman TB yang kebal terhadap Obat Anti TB (OAT) akan semakin tersebar luas. Selain sulit disembuhkan, pengobatan TB-MDR juga jauh lebih mahal dan memiliki banyak efek samping yang sangat beresiko. Apalagi kalau TB-MDR ini menyerang penderita HIV, sistem kekebalan yang sangat lemah akibat HIV akan mempermudah kuman TB-MDR untuk melakukan aktivitas di dalam tubuh dan mematikan penderita tersebut hanya dalam beberapa minggu saja apabila tidak segera ditangani dengan serius. Mudahnya akses yang diperoleh kuman TB-MDR untuk masuk ke dalam tubuh penderita HIV menjadi salah satu faktor meningkatnya jumlah penderita TB dengan HIV [12].
Disaat obat TB diberikan gratis, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang masih belum mengetahui bahwa di seluruh puskesmas, rumah sakit dan instansi kesehatan milik pemerintah kini, obat TB berkualitas dapat diambil secara cuma-cuma bagi penderita TB. Fakta tersebut tercermin dari hasil survei prevalensi TB pada 2004 yang dikutip dari Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 - 2014 [13] menyebutkan bahwa hanya 19% keluarga yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis. Tidak sedikit juga keluarga-keluarga yang kurang mampu menganggap pengobatan TB itu mahal karena mereka melakukan pengobatan di klinik swasta yang tidak menyediakan obat TB gratis hingga akhirnya berobatnya tidak tuntas karena tidak memiliki biaya. Padahal, persediaan obat TB yang terputus merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terciptanya TB-MDR. Jangankan tahu obat TB gratis, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah! Secara nasional, pada tahun 2013, hanya 69,6 persen rumah tangga saja mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah [14]. Oleh karena itu, kita sebagai kader kesehatan harus terus mengampanyekan OBAT TB GRATIS dan memeriksa ada atau tidaknya indikasi TB baik pada diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Jika menemukan adanya indikasi TB segera periksakan ke Puskesmas terdekat. Obat gratis bisa diambil di Puskesmas langsung. Jangan berhenti minum obat TB sebelum waktunya, jangan tunggu sampai TB kebal Obat!
Jangan berhenti minum obat TB sebelum waktunya, jangan tunggu sampai TB kebal Obat!
DAFTAR REFERENSI
[1] UNDP. "Millennium Development Goals (MDGs)" [link] (diakses 19 April 2014)
[2] Bappenas. "Laporan Pencapaian Tujuan Milenium DI Indonesia 2011" [link] (diakses 19 April 2014)
[3] VOA Indonesia. "Indonesia Berhasil Turunkan Angka TB " [link] (diakses 19 April 2014)
[4] Dalimunthe, N. N. “Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan reistansi Obat anti Tuberkulosis” [link] (diakses 19 April 2014)
[5] TB Alliance. "Inadequate Treatment" [link] (diakses 19 April 2014)
[6] Kemenkumham. " Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat 2013" [link] (Diakses 19 April 2014)
[7] Falzon, Dennis et al. “Universal Access to Care for Multidrug-Resistant Tuberculosis: An Analysis of Surveillance Data”. The Lancet Infectious Diseases, Volume 13, Issue 8, Pages 690 - 697, August 2013. doi:10.1016/S1473-3099(13)70130-0 [link] (diakses 19 April 2014)
[8] WHO. “Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB), October 2013 Update” [link] (diakses 19 April 2014)
[9] Burhan, Erlina. “Peran ISTC dalam Pencegahan MDR” Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 (2010) [link] (diakses 19 April 2014)
[10] Soepandi, Priyanti. " Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tb-MDR" [link] (Diakse 19 April 2014)
[11] Dirjen P2PL. Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB 2009 [link] (diakses 19 April 2014)
[12] CCOHS. "Multi-Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB)" [link] (diakses 19 April 2014)
[13] Dirjen P2PL. "Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 - 2014" [link] (diakses 19 April 2014)
[14] Litbang Depkes. "Riset Kesehatan Dasar 2013" [link] (diakses 19 April 2014)
SUMBER GAMBAR
Gambar 1: Koleksi pribadi
Gambar 2:
Gambar 4: Koleksi pribadi
SUMBER FLASH
http://outreach.mcb.harvard.edu/animations/resistance7.swf
[1] UNDP. "Millennium Development Goals (MDGs)" [link] (diakses 19 April 2014)
[2] Bappenas. "Laporan Pencapaian Tujuan Milenium DI Indonesia 2011" [link] (diakses 19 April 2014)
[3] VOA Indonesia. "Indonesia Berhasil Turunkan Angka TB " [link] (diakses 19 April 2014)
[4] Dalimunthe, N. N. “Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan reistansi Obat anti Tuberkulosis” [link] (diakses 19 April 2014)
[5] TB Alliance. "Inadequate Treatment" [link] (diakses 19 April 2014)
[6] Kemenkumham. " Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat 2013" [link] (Diakses 19 April 2014)
[7] Falzon, Dennis et al. “Universal Access to Care for Multidrug-Resistant Tuberculosis: An Analysis of Surveillance Data”. The Lancet Infectious Diseases, Volume 13, Issue 8, Pages 690 - 697, August 2013. doi:10.1016/S1473-3099(13)70130-0 [link] (diakses 19 April 2014)
[8] WHO. “Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB), October 2013 Update” [link] (diakses 19 April 2014)
[9] Burhan, Erlina. “Peran ISTC dalam Pencegahan MDR” Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 (2010) [link] (diakses 19 April 2014)
[10] Soepandi, Priyanti. " Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tb-MDR" [link] (Diakse 19 April 2014)
[11] Dirjen P2PL. Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB 2009 [link] (diakses 19 April 2014)
[12] CCOHS. "Multi-Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB)" [link] (diakses 19 April 2014)
[13] Dirjen P2PL. "Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 - 2014" [link] (diakses 19 April 2014)
[14] Litbang Depkes. "Riset Kesehatan Dasar 2013" [link] (diakses 19 April 2014)
SUMBER GAMBAR
Gambar 1: Koleksi pribadi
Gambar 2:
- http://ekbis.sindonews.com/read/2013/04/19/15/739945/penderita-tb-mdr-di-indonesia-sudah-ribuan
- http://lifestyle.bisnis.com/read/20140303/220/207492/indonesia-hadapi-kasus-tb-mdr-dan-tb-dengan-hiv
- http://www.jurnas.com/news/126325/Hampir-14-Ribu-Penderita-TB-Baru-Terkena-HIV-2014/1/Sosial-Budaya/Kesehatan/
- http://health.kompas.com/read/2014/03/03/1601586/Jumlah.Kasus.TB.Turun.TB.Kebal.Obat.Naik
- http://poskotanews.com/2013/04/01/banyak-penderita-tb-sudah-kebal-obat/
- http://infopublik.org/read/70190/indonesia-hadapi-ancaman-mdr-tb-dan-tb-hiv.html
- http://www.kabar24.com/health/read/20140303/54/212480/pasien-tb-yang-kebal-terhadap-obat-makin-banyak-di-indonesia
Gambar 4: Koleksi pribadi
SUMBER FLASH
http://outreach.mcb.harvard.edu/animations/resistance7.swf